30 Oct 2012



“SUATU KETIKA”, demikian ‘Abdullah ibn ‘Abbas berkisah, “Seorang wanita shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Dia seorang wanita yang sangat cantik, secantik-cantik wanita. “Demi Allah”, kata Ibnu ‘Abbas bersaksi, “Aku belum pernah melihat wanita secantik dia.” Wanita itu langganan menempati shaff terdepan di barisan para wanita.

Keberadaan sang wanita membelah sikap para shahabat dalam berjama’ah. Sebagian berupaya keras datang lebih awal dan mengambil tempat di shaff terdepan agar jangan sampai melihatnya. Agar tak sempat tergoda. Tetapi ada juga sebagian lainnya yang melambatkan kehadirannya. Mengakhirkan diri agar mendapatkan shaff terbelakang di barisan lelaki, agar curi-curi pandang bisa leluasa dilakukan. Ketika ruku’ mereka merenggangkan kedua tangan, menyeksamai kecantikannya melalui celah ketiak mereka.

Ah, ini berkait dengan perasaan. Hukum tetaplah hukum. Tetapi bagaimana ia tersampaikan hingga hati-hati tak terluka. Hingga dada lapang mengikuti jalan lempang. Alangkah agungnya Allah. Dzat Yang Maha Santun. Ketika itu, Ia Menurunkan firmanNya dalam kalimat yang begitu halus, tipis, dan manis:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripada-mu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang mengakhirkan diri.”
(QS Al Hijr : 24)

Kisah ini diriwayatkan oleh para Imam pemilik Kitab Sunan yakni Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah. Imam Al-Hakim menshahihkannya menurut syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dan Imam Adz Dzahabi menyepakati penilaian ini.

Inilah shahabat Rasulullah. Inilahh shahabat Rasulullah! Inilah generasi terbaik. Di antara mereka juga terdapat ekspresi ketertarikan, keterpesonaan dan rasa yang meremaja. Bahkan ekspresi itu berupa kelaukan ‘curi-curi pandang’ yang rasanya unik, lucu, dan menggelikan karena justru dilakukan dalam shalat jama’ah bersama Rasulullah.

Adalah salah besar membayangkan mereka melulu seperti rahib apalagi seperti malaikat. Mereka tetap manusia. Ya, mereka adalah manusia dengan segala kecenderungan fithri yang tak bisa ditipu dan dikelabui. Tetapi kecenderungan itu menjuraikan kemuliaan, karena mereka ridha pada Allah yang mengaturnya. Subhanallah, sekali lagi, mereka adalah manusia.

Dan Maha Suci Allah, Yang Maha Mengerti kecenderungan ini, lalu Ia tidak menghardik mereka dengan kasar, tidak menegur mereka dengan kalimat bernada murka, dan tidak memutus tali rahmat dari sisiNya. Cukup Ia sindir mereka dengan kalimat yang sangat santun, mengena, dan memasuki relung di mana berbagai ketertarikan fithri itu besamayam :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripada-mu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang mengakhirkan diri.”
(QS Al Hijr : 24)

Kalimat itu menghunjam masuk, menukik tajam, dan membangkitkan kembali rasa malu, pengendalian diri, dan taqwa. Ya, agar rasa-rasa itu setia mendampingi cinta. Dan para shahabat Rasulullah itu menjadi guru-guru kita dalam menyadari bahwa cinta harus bersujud di mihrab taat.

Bersamboeng....

Disarikan dari buku "Jalan Cinta Para Pejuang" Salim A. Fillah.


Jangan lupa untuk meninggalkan jejak di kolom komentar kami.
EmoticonEmoticon