10 Feb 2010

Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)
Manajemen cinta mendidik sikap selektif dalam menambatkan dan melabuhkan cinta serta memilih orang-orang yang masuk dalam kehidupan dirinya.
Nabi berpesan: “Seseorang akan mengikuti pola hidup orang dekatnya maka hendaklah kalian mencermati siapa yang ia pergauli.” (HR. Ahmad, At-Turmudzzi dan Baihaqi).
Sabdanya pula: “Janganlah engkau berakraban kecuali kepada seorang mukmin dan janganlah menyantap makananmu kecuali orang yang taqwa.” (HR. At-Turmudzi dan Abu Dawud).

Di antara konsekuensi sikap selektif dalam cinta ini adalah sikap arif dalam memilih pasangan hidup. Nabi saw. bersabda: “Seorang wanita dinikahi karena empat hal; hartanya, status sosialnya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang kuat agamanya niscaya kamu diberkati” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabdanya yang lain: “Jika seseorang yang engkau puas dengan kondisi agama dan akhlaqnya melamar kepadamu maka nikahkanlah ia. Sebab jika tidak kau lakukan maka akan timbul fitnah di muka bumi dan kerusakan yang dahsyat.” (HR. At-Turmudzi)

Demikian pula larangan tegas al-Qur’an untuk mengambil pasangan hidup dari yang berlainan aqidah karena ikatan Allah adalah yang paling kuat sementara lainnya adalah rapuh. (QS. Al-Baqarah: 32)
Tatkala pilihan cinta kita sudah tepat maka masih diperlukan pemeliharaan secara proporsional, karena cinta adalah buah iman dan iman seseorang selalu mengalami fluktuasi dan dinamika seiring dengan baik buruknya perlakuan dan sikap hidup. Kalau cinta diibaratkan tanaman maka ia memerlukan siraman, pemupukan, perawatan dan penjagaan secara kontinyu. Cinta yang sudah tepat labuhnya sekalipun (sefikrah dan sekufu misalnya) dapat redup ataupun mati bila tidak dipelihara. Dalam pengalaman keseharian seseorang sering mengalami problem cinta dengan pasangan hidupnya dari merasa tidak dicintai lagi, sudah hambar atau merasa sudah memberikan segalanya namun tidak ada timbal balik cinta yang pantas dan sebagainya.

John Gray, PhD dalam “Men, Women and Relationships” memberikan resep manjur agar pasangan merasa dicintai adalah dengan cara berfikir berlawanan pola dengan apa yang paling ia inginkan sendiri. Artinya harus berani mengenyampingkan perspektif dan keinginan serta ego diri sendiri namun sebaliknya mengedepankan apa yang diinginkan pasangan menurut perspektifnya yang tentunya dalam Islam tanpa melanggar kaidah syariat.

Sementara menurut prinsip membangun rekening emosinya Stephen R. Covey dalam “The 7 Habits of Highly Effective Families” Cinta diibaratkan rekening bank emosi yang tentunya memerlukan saldo minimum agar tidak ditutup yang berarti permusuhan, perceraian, perpisahan dan perpecahan. Dengan demikian manajemen cinta dalam hal ini mengajarkan prinsip melakukan penyetoran lebih didahulukan daripada penarikan dan tidak peduli apapun situasinya, karena selalu ada hal-hal yang dapat kita lakukan yang akan membuat hubungan cinta menjadi lebih baik.

Bukankah Nabi saw juga berpesan: “Janganlah engkau remehkan suatu kebaikan pun meskipun hanya memberikan senyuman kepada saudaramu.” Sikap mengesalkan dan menyebalkan bagi orang-orang sekeliling kita janganlah dipelihara dan dibiasakan sebab itu berarti penarikan beruntun rekening emosi yang dengan semakin menipisnya emosi simpati sebagai salah satu modal saling mencintai akan berakibat fatal. Namun sayang hal ini justru sering diremehkan.

Sebaliknya kita perlu banyak dan sesering mungkin menaburkan rabuk tanaman cinta dan mengisi bank emosi cinta di antaranya dengan beberapa hal-hal positif berikut sebagaimana dikemukakan oleh Imam
Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah dalam “Raudhah Al-Muhibbin” sebagai bukti cinta kepada siapa pun yang kita cintai:
1. Sesering mungkin kontak mata yang penuh keteduhan dan kedamaian sebagai magnet cinta antar orang-orang yang kita kasihi.

2. Melakukan seni mengingat kekasih, menghargai dan menyebutnya sesuai kesukaannya secara baik.

3. Mengikuti keinginan orang yang kita kasihi tanpa melanggar kaidah syariat

4. Bersabar menghadapi sikap dan perlakuan orang yang dicintai.

5. Menunjukkan perhatian dan bersedia menyimak curahan hati kekasih.

6. Berusaha mencintai dan menyenangi apapun yang dicintai dan disenangi kekasih

7. Merasakan ringan resiko perjalanan menuju dan bersama kekasih tanpa keluh kesah

8. memberikan kepedulian dan kecemburuan yang wajar dan proporsional kepada kekasih

9. Rela berkorban demi kekasih dan menjadikan pengorbanannya sebagai pemikat hati

10. Membenci dan memusuhi apa yang tidak disukai kekasih sebagai bentuk konsekuensi wala’ dan bara’ dalam cinta.

Skala prioritas cinta adalah hal yang niscaya dan semestinya diimplementasikan dalam manajemen cinta agar tidak bertabrakan dan memberantakkan hubungan, karena dalam hidup banyak hal yang harus dan secara fitrah kita cintai (QS. Ali Imran: 14). Hal itu tentunya akan berjalan baik dengan saling memberikan pengertian secara bersama dan arif bijaksana sehingga tidak terjadi salah paham dan kecemburuan yang tidak pada tempatnya. Sebagai ilustrasi ada baiknya kita sebutkan model prioritas cinta yang pertama adalah cinta Allah dan Rasul-Nya yang berarti cinta Islam, aqidah, syariat dan jihad fi sabilillah di atas segala-galanya. Kemudian cinta kepada orang tua bagi anak lelaki dan bagi wanita yang belum menikah adapun wanita yang sudah menikah kepada suami baru kepada orang tua. Lalu kepada istri dan anak bagi lelaki dan seterusnya yang lebih bersifat materi, fasilitas fisik dan civil efek serta pengakuan ataupun aktualisasi diri dalam konteks hubungan sosial.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah memberikan rahmat dengan membukakan pintu goa yang tertutup bagi seorang suami yang biasa menyimpan susu untuk diminumkan kepada orang tuanya sebelum anak dan istrinya dan rela menahan diri dan keluarganya untuk meminumnya sebelum orang tuanya. Sebaliknya Allah mengampuni dosa orang tua yang meninggal dunia karena ketaatan istri kepada suami untuk tidak keluar rumah selama kepergiannya tanpa seizinnya sampai akhirnya orang tuanya meninggal dunia dan ia tidak sempat menjenguk. Dengan keikhlasan masing-masing pihak untuk menerima jatah cinta dan kasih sayang untuknya sebagaimana mestinya yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan akan membawa keberkatan cinta itu sendiri.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan dalam manajemen cinta yang terkait dengan skala prioritas perhatian adalah situasi, kondisi dan peran yang diamanahkan Allah dalam hidupnya dapat menjadi pertimbangan sendiri. Sebagai contoh seseorang yang seharusnya pergi berjihad namun memiliki orang tua yang tidak ada yang merawatnya kecuali dirinya atau seorang ibu yang harus merawat anaknya dan tidak ada orang lain yang menggantikannya maka Rasulullah saw justru mewajibkan padanya untuk merawat keluarganya dan melarangnya untuk ikut berjihad.
Namun sebaliknya jika potensi dan perannya dibutuhkan dalam dakwah dan jihad sementara ada elemen pendukung lain yang menggantikan peran cintanya untuk selain jihad dan ia enggan memberikan bukti cintanya kepada Allah dan rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya maka Allah mengancamnya dengan kemurkaan-Nya. (QS. At-Taubah: 9).
Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak di kolom komentar kami.
EmoticonEmoticon